Minggu, 08 Juni 2014

~ROMANTIKA POLIGAMI~

HANCURNYA SEBUAH MAHLIGAI

September 2010
Lamunan melayang ke beberapa tahun yang lalu, ketika keretakan rumah tangga mulai kurasakan. Aku dan suami saat itu dalam keadaan emosi yang tak terkendali. Kupilih pojokan kasur di kamarku untuk duduk diam menenangkan diri, tapi dia mengikutiku dan berkata keras, "Ya sudah, kita cerai!". Aku diam tak berkata apa-apa. Dan diamku terus berlanjut hingga keesokan harinya. Tak kugubris dia, tak kusapa dan kuurus, tak
kubuatkan makan dan minum. Aku melakukan semua aktifitas seperti biasa, menyiapkan anak sekolah, lalu pergi kerja. Rupanya dia merasakan diamku saat itu karena kata-katanya. Malamnya setelah dia mencabut kata "cerai" itu, barulah aku mau bicara dan bersikap biasa lagi.

Akhir April 2011
Lagi-lagi...entah karena apa aku lupa, kami ribut besar...dan untuk kedua kalinya dia berkata, "Udah sana kamu pulang aja!". Saat itu aku tidak diam seperti yang pertama. Aku bertanya untuk memastikan, "Maksudnya apa? Apakah kamu mentalak aku untuk kedua kalinya?". Dia menjawab,"Iya, kalau kamu menganggap begitu, ini talak kedua!". Baru aku diam.
Sejak malam itu aku menjauhi dia, walau berada dalam satu rumah dan sikapku pada anak-anak biasa saja, tapi aku benar-benar menjauhi dia. Aku merasa dan berpikir bahwa dia sudah bukan suamiku lagi. Dia sudah menceraikanku. Tak ada sedih ataupun airmata saat itu. Semua aktifitas rumah dan pekerjaan kujalani dengan biasa saja. Aku bagaikan batu karang yang kokoh, tegar.

Awal Mei 2011
Hampir sepekan kami saling mendiamkan. Hari ke-5 dia mengajakku bicara dan mencabut kata talaknya. Ya aku masih berusaha untuk memperbaiki rumah tangga dengan bersikap lebih baik, walaupun hati sudah terasa hambar.
Bulan Juni akan ada pertemuan keluarga besar dia, kami pun akan ikut hadir. Tapi setelah melalui beberapa keributan itu, aku merasa malas dan tak berminat untuk menghadiri pertemuan keluarga. Aku ingin pulang saja, sekalian menengok ibu yang sakit. Aku tanya anak-anak bagaimana kalau mamah gak ikut, mamah mau nengok nenek. Anak-anak keberatan dan mereka membujuk supaya aku ikut. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut hadir demi anak-anakku.

Juni 2011
Hari-hari yang kulalui setelah rujuk _begitulah anggapanku setelah membaca buku fiqih_ terasa biasa saja, tak ada yang istimewa. Cuma ada kecanggungan di antara kami, walau berusaha bersikap wajar tapi tetap agak canggung.
Pulang kerja kurang lebih lepas dhuhur, aku bercengkrama dengan anak-anakku. Tiba-tiba ada sms masuk, dari suamiku? Kutatap dia heran, dalam satu ruangan tamu kok sms segala, pikirku tak mengerti. Kubaca isi smsnya penasaran, "Kamu gak usah ikut ke pertemuan keluargaku, aku mau belajar bersama anak-anak tanpa ada kamu, kamu juga belajar tanpa adanya anak-anak di sampingmu". Keningku berkerut tanda kaget dan tak mengerti, tapi aku cuma berkata, "Pakai sms segala, tinggal bilang aja langsung, aku kan manusia yang bisa diajak bicara baik-baik..."

2 Juni 2011
Pagi-pagi sekali aku sudah siap berangkat, begitu pula anak-anakku. Kulepas kepergian anak-anak dulu menuju arah barat, untuk bertemu dengan keluarga besar suami di luar kota. Lalu aku berangkat seorang diri menuju ke timur, ke kota asalku. Ya, kami kluar rumah bersamaan tapi berbeda arah. Aku yang dilarang ikut akhirnya memutuskan untuk menjenguk ibuku yang sakit.
3 jam kemudian aku sudah sampai di kotaku. Aku yakin anak-anakku masih di bis dan baru setengah perjalanan. Saat itu ada sms masuk yang membuatku terkejut..
"Bilang ke ibu kamu kalau kita sudah bercerai, aku juga mau bilang ke ibu aku". Sms dari suamiku. Aku menjawab penuh tanda tanya,"Maksudnya? Ibu kan lagi sakit, masa aku harus memberi kabar seperti itu? Telepon dong kesini, aku gak paham.." Dia balas sms singkat,"Gak bisa telepon, masih di bis, terserah kamu, aku tetep akan bilang ke ibuku".
Aku terdiam. Bukan karena sms itu yang membuatku terdiam. Tapi aku bingung bagaimana cara memberitahu ibuku kabar ini. Aku sudah menganggap sms itu sebagai ungkapan talak yang ketiga. Aku begitu yakin bahwa aku sudah diceraikan lagi dengan sms itu. Aku sudah ditalak tiga. Yang artinya kami tidak akan bisa bersama lagi.

Dengan mengumpulkan segenap keberanian aku bicara dengan ibu tentang kondisi rumahtanggaku. Seperti yang kuduga reaksi ibu yang pertama adalah marah. Marah yang disertai rasa tersinggung dan sedih. Aku yang selama ini tidak bisa menangis, akhirnya luluh juga melihat airmata kemarahan dari ibuku. Airmatakupun mengalir bersamaan dengan keluarnya kekesalan dan beban yang selama ini menumpuk di dada. Ibu menyuruhku pulang saat itu juga, anak-anakku yang berjumlah tiga orang tak boleh tinggal dengan bapaknya, semua harus aku bawa.
Dan berita aku cerai tersebar di antara kakak-kakakku. Semua kaget dan menyayangkan kenapa tidak dibicarakan dulu dengan keluarga besar untuk dicari solusinya. Tapi semua sudah telanjur terjadi. Akhirnya aku pulang dengan membawa tiga orang anak yang menjelang remaja. Aku berusaha membujuk dengan halus anak-anak agar mau pindah ke kotaku dengan alasan menemani nenek yang sakit. Aku menjaga perasaan mereka, karena aku sangat menyayangi anak-anakku.

Tapi seiring waktu berjalan, anak-anak pindah sekolah, adaptasi dengan rumah dan lingkungan baru. Alhamdulillah mereka tidak mengalami kesulitan dalam pergaulan dengan teman-teman barunya. Barulah pada saat itu aku berani bicara dengan mereka satu persatu, bahwa mamah dan papah sudah berpisah. Mereka tampak biasa-biasa saja, tapi aku merasakan kesedihan dan kehilangan mereka pada bapaknya yang dulu selalu bersama mereka. Maafkan mamah anakku sayang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar