Senin, 09 Juni 2014

~ROMANTIKA POLIGAMI~

DILEMA CINTA

Juli 2012
Tahun ajaran baru dimulai. Aku melangkah bersama Ayan menuju tempat kami berdua akan melalui hari-hari bersama. Aku begitu bersemangat mengawali hari itu. Kunikmati kesibukan di kelas satu tempat aku ditugaskan. Ayan sendiri sekarang sudah duduk di kelas tiga. Aiz kelas enam dan Rinrin kelas tiga SMP. Rutinitasku berubah, dan ini membuat hatiku sedih. Aku tak bisa lagi menghadiri pengajian-pengajian yang biasanya aku hadiri tiap hari. Siang hari sepulang dari sekolah, aku istirahat sebentar lalu pergi lagi ke tempat kursus untuk mengajar b.inggris. Pulangnya kadang sore, kadang juga sampai waktu maghrib. Lelah memang. Tapi rasa lelah ini kunikmati saja dengan mengharap balasan pahala dari Allah subhanahu wata'ala.



Rutinitas anak-anakku tak ada yang berubah, mereka sekolah dan kadang-kadang latihan karate atau ikut kejuaraan. Kebiasaan bertukar cerita pun masih selalu kulakukan walau tak sesering dulu. Sekarang inti ceritaku ke anak-anak adalah kesibukanku di kelas, dan keunikan karakter anak kelas satu muridku yang lucu-lucu.

Pada awalnya aku canggung sekali berada di lingkungan sekolah itu. Aku merasa minder dan lebih memilih banyak berdiam diri di kelas. Tapi lama kelamaan beberapa orang guru akhwat mengajakku berbincang-bincang sehingga berkurang rasa maluku.

Oktober 2012
Rasa canggung dan maluku sudah hilang berganti dengan rasa percaya diri. Tapi aku tetap belum bisa dekat dengan guru-guru akhwat. Aku lebih suka menyendiri di kelas.
Sejak bulan syawal kelasku pindah ke kelas baru yang lebih luas. Dan karena jarak kelasku yang baru ini agak jauh dari kantor guru, maka aku ada alasan untuk selalu berdiam diri di kelas, aku sangat jarang ke kantor dan nimbrung dengan teman-teman guru akhwat.
Beberapa kali Ustadz Bahr datang ke kelasku untuk mengecek keadaan kelas baru. Saat beliau mengunjungi kelasku terkadang juga sambil bertanya tentang lembaga kursus tempat aku mengajar kalau sore. Beliau sepertinya tertarik untuk membuat sebuah lembaga kursus b.inggris di lingkungan tersebut. Aku tak segan-segan berbagi cerita dan pikiran. Aku senang kalau di sana ada lembaga kursus b.inggris. Aku bisa ikut kerja dalam satu lokasi dengan SD, jadi tak perlu jauh-jauh ke lembagaku yang berada di luar kota.

Pada suatu malam teleponku berdering. Kuangkat dan kusapa dengan agak rikuh. Kok Ustadz Bahr nelpon ya, ada apa. Jangan-jangan ada hal penting. Pikiranku menduga-duga tak menentu. Dan memang, setelah terhubung beliau memberitahukan bahwa ada anak murid yang sakit agak lama karena cukup parah. Aku tanyakan alamat anak tersebut dan berterima kasih atas infonya.

Ada sesuatu yang bergetar di hatiku saat itu. Entah kenapa aku agak malu-malu tapi ada sedikit bahagia setelah menerima telpon ustadz. Aku membaca istighfar tak henti-henti. Aku tidak boleh seperti ini, bisik hatiku. Aku tidak mau merusak suasana kerja, aku juga tidak mau mempunyai hubungan dengan orang di lingkungan sekolah. Tidak. Tidak. Hatiku berusaha menolak getar-getar aneh tersebut. Lagipula belum tentu ustadz berpikir sejauh yang aku bayangkan. Aku menenangkan diri.

Aku bersama rekan kerjaku mencari alamat rumah murid yang sakit. Kami berdua menjenguknya walaupun rumahnya sangat jauh. Dan malamnya selepas isya kembali telponku berdering. Ustadz Bahr lagi. Dengan gugup aku angkat telepon. Ternyata beliau menanyakan hasil menjenguk siswa yang sakit tadi dan menanyakan keadaannya.
Hanya saja setelah itu beliau bertanya sesuatu yang membuat wajahku memerah. Beliau bertanya tentang kemungkinan aku kembali rujuk dengan bapaknya anak-anak. Aku jawab tidak mungkin karena dalam anggapanku kami sudah talak tiga.

Ada kedekatan yang kurasa antara aku dan ustadz Bahr. Penolakan yang selalu kuucapkan dalam hati untuk menutup hati pada ustadz Bahr ternyata tidak bisa kulakukan. Akhirnya aku membiarkan saja perasaanku yang selalu bergetar ketika melihat sosoknya di sekolah. Fisikku bisa saja menunduk dan menghindari beliau, tapi hatiku tidak. Hatiku selalu bergetar walau ketika melihat sekelebat bayangannya saja. Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni aku.

Nopember 2012
Ustadz tidak pernah meneleponku lagi. Hal ini cukup melegakan dan membuat harapanku sedikit berkurang. Hatiku mulai bisa terkendali. Sampai ketika ada sms masuk dari beliau yang isinya bertanya bagaimana pendapatku tentang poligami. Aku terkejut dan menjawab sebisanya saja. Jawabanku pro poligami karena merupakan syariat islam. Tak kuduga sebelumnya, aku yang berusaha keras menolak getar-getar aneh pada ustadz Bahr, yang selalu berusaha menghilangkan harapan semu untuk menjadi bagian dari hidupnya, malah ditanya hal yang aku anggap candaan beliau. Beliau bertanya di sms,"Bu,mau tidak dengan saya?". "Ah bapak ini bercanda..." Jawabku. "Saya tidak bercanda".Jawabnya. "Wah saya harus istikhoroh dl pak.." Jawabku bimbang karena terkejut. Perbincangan di sms berlanjut dengan curhatku yang kebingungan akan hak asuh anak jika aku menikah lagi. Bapaknya anak-anak sempat menyampaikan bahwa kalau aku menikah lagi maka anak-anak akan dia bawa semuanya. Aku tidak mau itu terjadi, aku tidak mau berpisah dengan buah hatiku. Ustadz Bahr mendengarkan ceritaku dan memberi beberapa masukan bahwa hukumnya anak yang masih belum baligh itu bersama ibunya dulu sampai anak tersebut dapat menentukan pilihan.

Serasa mimpi, aku tidak percaya apakah sms ustadz Bahr ini serius atau main-main. Tapi mana mungkin beliau mempermainkan orang lain. Seorang perempuan pula.
Aku benar-benar dilanda kebingungan. Satu sisi aku tertarik dan tidak mau menolak. Apalagi setelah beberapa bulan belakangan aku tak bisa mengendalikan getar hatiku. Di sisi lain aku tidak mau merusak suasana kerja. Di sisi lain lagi aku masih menunggu ikhwan yang memintaku menunggu itu. Dan yang paling mengganggu adalah aku tidak mau kehilangan anak-anakku karena aku menikah lagi. Sungguh dilema.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar