Rabu, 11 Juni 2014

~ROMANTIKA POLIGAMI~

MENANTI TAKDIR

Nopember 2012
Hatiku kacau. Aku terganggu dengan bisikan-bisikan positif dan negatif. Manakah jalan yang harus kuambil. Hanya pada Allah aku berserah diri, mengadu dan meminta petunjuk.
Baiklah...Aku harus menyelesaikan masalah yang mengganggu hatiku satu persatu. Aku yang masih menunggu keputusan ikhwan luar kota, akhirnya memberanikan diri menyampaikan beberapa pertanyaan pada dia. Bagaimana perkembangan dia mentarbiyah istrinya, bagaimana rencana dia padaku dan bagaimana jika ada orang selain dia yang menawariku untuk hidup bersama. Jawabannya seperti yang sudah kuduga. Dia belum bisa mentarbiyah istrinya sehingga belum bisa datang ke rumahku untuk meminangku pada wali. Dan dengan berat hati dia mau melepaskan aku, dan mendoakanku agar bahagia dengan orang yang aku pilih. Alhamdulillah....satu masalah selesai.



Berikutnya aku berpikir dan menganalisa tentang hak asuh anak. Betul kata Ustadz Bahr, sementara anak-anakku belum dewasa mereka masih sangat membutuhkan kasih sayangku, dan lebih baik untuk mental mereka kalau untuk beberapa waktu mereka tetap tinggal bersamaku. Hatiku sedikit mantap setelah memikirkan ini. Aku percaya Allah akan melindungi dan mencukupi kami asalkan niatku lurus untuk mendidik anak-anak sebaik mungkin.

Maka aku mulai mengajak anak-anakku bicara tentang rencanaku yang akan menikah lagi. Kukenalkan sosok calon ayah mereka dengan detail. Kuberi juga mereka pengertian bahwa walaupun mamah menikah lagi, mamah akan selalu menyayangi Rinrin,Aiz dan Ayan. Alasan kenapa aku menikah lagi dengan orang lain dan tidak kembali pada papah mereka pun aku jelaskan. Dan alhamdulillah anak-anakku tidak keberatan. Mereka bisa memahami penjelasanku. Apalagi Ayan yang sudah terlebih dahulu mengenal Ustadz Bahr di sekolah. Anak-anakku senang karena calon ayah mereka seorang yang mendalami agama, mereka mengerti kalau mamahnya membutuhkan sosok suami seperti Ustadz. Alhamdulillah..

Lalu bagaimana kalau aku menerima Ustadz Bahr, apakah aku termasuk orang yang tidak profesional dalam pekerjaan? Inilah salah satu hal yang berkecamuk dalam benakku. Aku berpikir baik dan buruknya. Menurut penilaianku ustadz laki-laki yang sopan dan berilmu. Aku membutuhkan orang seperti beliau untuk membimbing aku dan anak-anak. Hijrah ke manhaj salaf membuatku paham imam seperti apa yang aku butuhkan. Imam yang dapat membimbingku, yang mempunyai ilmu yang cukup sehingga aku dapat menimba ilmu dari suamiku. Imam yang akan menjadi kunci pintu surga untukku. Dan aku sudah menemukannya pada sosok Ustadz Bahr, Allah sudah mengirimkannya untukku. Lalu kenapa aku harus ragu? Bukankah ini kesempatan yang mungkin tak akan datang dua kali. Seorang laki-laki yang baik telah datang sendiri tanpa dicari. Pada usia seperti aku, dengan tiga orang anak, akankah ada yang mau mendekat atau bahkan menikahi?

Ustadz Bahr mengirim sms lagi beberapa hari kemudian, beliau menanyakan keputusanku. Dan dengan jantung berdegup kencang aku mengiyakan tawaran beliau. Lalu aku menanyakan keadaan istri beliau, apakah menyetujui atau tidak. Ustadz menyatakan bahwa istrinya tidak apa-apa, karena beliaupun sudah lama berniat mempunyai istri lagi. Sms diakhiri dengan keinginan ustadz untuk segera datang ke rumah untuk melihat wajahku atau yang biasa disebut nahdzor.

Bertepatan dengan hari raya Idul Adha, sambil mengirimkan bingkisan daging kurban, Ustadz Bahr datang secara mendadak ke rumahku. Aku terkejut dan sangat gugup saat mendengar beliau akan datang untuk nahdzor. Aku segera menjelaskan situasinya pada anak laki-lakiku yang besar, Aiz, dan memintanya untuk bersiap-siap menemaniku menemui Ustadz Bahr. Walaupun Aiz belum baligh tapi dia sudah masuk remaja dan sebentar lagi baligh, jadi sudah boleh menjadi mahromku.

Ustadz Bahr datang sendiri dan berada di rumahku hanya sebentar. Beliau hanya bertanya beberapa hal untuk memastikan keputusanku. Dan akupun bertanya tentang ijin istrinya. Aku menemuinya tanpa memakai cadar. Dialog yang hanya sebentar berjalan agak canggung. Aku tahu beliaupun merasa malu dan rikuh sama halnya seperti aku. Mungkin wajah kami berdua sama-sama memerah. Semua berlangsung begitu cepat, dan Ustadz Bahr pun pamit pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar