Islam, Iman dan Ihsan
Kategori: Aqidah
Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya
pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan
Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak
lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk
sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah
sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian
semacam ini dikenal di dalam Islam?
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi
malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali
jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan
kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab
berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka
pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin
Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?”
Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun
bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian
untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin
rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil
bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama
(Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini
mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam
beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
(yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh,
engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke
Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh
Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits
ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in
hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah
yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu
ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar;
yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup
perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah
pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya
disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan
amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan
amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah
satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya.
Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi
agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup
islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu
engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka
apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara
faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan
yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi
rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun
sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling
sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka
hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh
dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa
siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak
mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini
mencakup perkara lahir maupun batin.
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila
dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila
ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau
dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas
daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus
daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka
di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam.
Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan
orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih
istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li
shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa
setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman
sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan
amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti
mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak
meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan
amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya
muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna.
Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu
mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman
tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot:
14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki
tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang
lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih
tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan
iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih
Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta
penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama
ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal
oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut
tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah
sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan
penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita
alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin
mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang
mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah
benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu
amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR.
Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun
harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang
membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at. Wallohu a’lam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Kategori: Aqidah
Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar