Jumat, 16 Maret 2012

Mahabbah (kecin­taan) 

Inti kesyirikan kepada Allah adalah syirik dalam hal mahabbah (kecin­taan), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

"Dan antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, MEREKA MENCINTAINYA SEBAGAIMANA MENCINTAI ALLAH. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)



Ketahuilah para sahabatku sekalian, sesungguhnya kita diciptakan untuk suatu urusan yang maha penting, tujuan yang luhur, yang untuk tujuan itulah Allah menciptakan dunia dan seisinya, me­ngutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab un­tuk menyeru kepadanya. Tujuan tersebut adalah ber­ibadah kepada Allah Ta'ala tanpa menyekutukan dengan suatu apapun.

Ibadah inilah yang merupakan hakikat dinul Islam. Itulah millah (jalan)nya bapak kita Ibrahim, yang barangsiapa membencinya berarti berlaku bo­doh terhadap dirinya sendiri, termasuk golongan orang-orang yang SESAT dan BINASA.

Maka setiap kali seseorang meninggalkan urusan yang menjadi TUJUAN PENCIPTAANNYA yang menjadi jaminan kebahagiaan, keberuntungan dan kesukse­san dunia dan akhiratnya, LALU MENYIBUKKAN DIRI DENGAN URUSAN SELAINNYA yang justru akan menda­tangkan kebinasaan, kesengsaraan dan kerugian­nya, maka dia adalah orang yang PALING HINA di an­tara yang hina, PALING DUNGU di antara yang dungu.

Ibadah di dalam Islam memiliki pengertian yang luas, tidak benar jika diartikan sebatas pada shalat, shaum, zakat, haji dan syi'ar-syi'ar ta'abudiyah selainnya saja. Bahkan iba­dah di dalam Islam adalah suatu manhaj yang saling melengkapi, menjadikan kemudahan kehidupan dalam seluruh aspeknya, sesuai dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.

Sebagian ulama memberikan definisi iba­dah, yakni:

"Kata yang mencakup seluruh apa-apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik perkataan ataupun perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin."

Sehingga sudah selayaknya seluruh aspek kehi­dupan itu TERIKAT PADA TUJUAN UNTUK MEREALISASIKAN IBADAH KEPADA ALLAH TA'ALA. Bahkan sudah men­jadikan setiap marhalah (fase) kehidupan ini selu­ruhnya adalah ibadah, hingga kematian adalah me­rupakan bentuk ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, sebagai­mana firman Allah Ta'ala:

"Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diprintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (Al-An'am: 162-163)

Ketahuilah para sahabatku sekalian, kebutuhan kita untuk beribadah kepada Allah lebih mendesak daripada kebutuhan kita terhadap makanan, minuman dan udara. Karena makanan, minuman dan udara berfungsi untuk melestarikan badan, sedangkan ibadah berfungsi untuk menegakkan ruh dan badan sekaligus.

Oleh karena itulah, iba­dah merupakan aktivitas seluruh makhluk yang ada, baik benda mati, hewan maupun tumbuh-tumbuh­an, baik yang kita saksikan maupun sesuatu yang tak dapat kita saksikan. Allah Ta'ala berfirman :

"Dan tak satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Al-Isra': 44)

"Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa saja yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-bintang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya." (Al-Hajj: 18)

Tidak diragukan lagi bahwa beribadah kepada Allah Ta'ala adalah ibadah yang paling terhormat, paling suci, paling luhur dan paling tinggi. Sedang­kan beribadah kepada selain-Nya adalah kesyirikan, kesesatan dan kerugian di dunia dan akhirat. Allah Ta'ala memberitakan perihal orang yang beribadah kepada selain-Nya:

"(Kepada para malaikat diperintahkan): "Kumpul­kanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan mereka yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya." (Ash-Shaffat: 22-24)

Para sahabatku sekalian, maksud beribadah kepada selain Allah tidak hanya terbatas pada tindakan menyembah berhala, thawaf di kuburan, me­mohon kepada penghuninya, menyembelih untuk se­lain Allah maupun istighatsah kepada selain Allah dalam hal yang tidak dimampui melainkan oleh Allah. Semua itu memang termasuk macam-macam beribadah kepada selain Allah. Namun lebih dari itu, karena iba­dah mengandung unsur PUNCAK KECINTAAN dan PUNCAK MENGHINAKAN DIRI.

Maka barangsiapa yang men­cintai sesuatu setara dengan cintanya kepada Allah dan menghinakan diri kepadanya, berarti dia telah beribadah kepada selain Allah, baik sesuatu itu be­rupa batu, berhala, manusia, kuburan, wali, pema­haman, madzhab, harta, dunia, wanita, hawa naf­su, syaitan atau selainnya, yang mana manusia me­nyerahkan diri kepadanya dan beribadah (dengan cara) mengabdi kepadanya.

Karena itulah maka Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:

"Inti kesyirikan kepada Allah adalah syirik dalam mahabbah (kecin­taan), sebagaimana firman Allah:

"Dan antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, MEREKA MENCINTAINYA SEBAGAIMANA MENCINTAI ALLAH. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)

Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa di antara manusia ada yang menyekutukan-Nya, dia menjadikan tandingan selain Allah, mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Maksudnya, bahwa hakikat ibadah tidak terwujud jika disertai kesyirikan kepada Allah dalam hal mahabbah (kecintaan).

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan, wajib untuk membedakan antara lima macam mahabbah, karena ketidakmampuan mem­bedakan masing-masing, dapat menjadikan kita terjerumus ke dalam kebinasaan dan syirik mahabbah. Kelima hal tersebut adalah:

1. Mencintai Allah Ta'ala

2. Mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Kecin­taan inilah yang memasukkan seorang hamba ke da­lam Islam dan mengeluarkannya dari kekufuran. Maka manusia yang paling dicintai oleh Allah ada­lah yang paling kuat dan paling sangat kecintaannya dalam hal ini.

3. Cinta karena Allah, hal ini merupakan konse­kuensi dari mahabbah yang sebelumnya. Seseorang tidaklah dianggap tulus dalam mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah melainkan dengan mencintai karena Allah dan di jalan Allah.

4. Mencintai beserta Allah (mencintai sesuatu se­tara dengan kecintaannya kepada Allah). Inilah mahabbah yang syirik, barangsiapa yang mencintai sesuatu setara dengan Allah, bukan untuk Allah, bu­kan pula karena Allah, bukan dijalan-Nya, sungguh dia telah mengambil tandingan selain Allah, inilah mahabbahnya orang-orang musyrik.

5. Mahabbah thabi'iyah, yakni kecenderungan manusia kepada apa yang memang menjadi tabiat­nya, seperti seorang yang haus menyukai air, orang yang lapar menyukai makanan, orang yang mengan­tuk menyukai tidur, mencintai istri maupun anak. Yang demikian ini tidaklah tercela kecuali jika hal-hal tersebut melalaikan dari dzikrullah dan menyi­bukkan diri dari mencintai Allah.

Bentuk mahabbah yang paling agung dan terpuji adalah mencintai Allah semata dan mencintai apa yang Dia cintai. Inilah akar kebahagiaan dan intinya. Tiada seorangpun yang selamat dari adzab melainkan dengannya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tiga perkara apabila ada pada seseorang berarti dia telah merasakan manisnya iman, (yaitu) apabila Allah dan Rasul-Nya LEBIH DICINTAI dari selain ke­duanya, seseorang yang tidak mencintai melainkan karena Allah dan benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana bencinya jika dirinya dilempar ke dalam neraka." (Muttafaq 'alaih)

Adapun cinta yang paling parah celanya adalah mahabbah ma'allah, yakni seseorang yang menyetarakan rasa cintanya kepada Allah dengan tandi­ngan selain Allah. Kecintaan ini merupakan INTI KESENGSARAAN dan BIANGNYA. Orang yang melakukan­nya berada di neraka dan diadzab di jahannam, wal 'iyadzu billah.

Para sahabatku sekalian. setelah paparan sekilas tentang hakikat ibadah dan mahabbah di atas, mari kita mencoba untuk bertanya kepada diri kita sendiri:

- Siapakah sesungguhnya yang kita cintai?
- Benarkah kita hanya mencintai Allah semata?
- Apa bukti kecintaan kita kepada Allah?
- Sudahkah kita mencintai karena Allah dan benci karena Allah?
- Berwala' karena Allah dan bermusuhan karena Allah?
- Sudahkah kita mencintai apa-apa yang dicintai Allah dan membenci apa-apa yang dibenci oleh Allah?
- Mencintai orang yang dicintai Allah dan membenci siapa saja yang dibenci Allah?

Jika setiap dari kita memiliki sifat ubudiyah dan mahab­bah yang sempurna kepada Allah, lalu mengapa kita melihat kebanyakan dari kita sendiri lari dari ketaatan?

Mengapa justru yang disukai oleh kebanyakan dari kita adalah hal-hal yang haram, menerima dan senantiasa cenderung kepadanya, mendapat kepuasan ketika bisa me­ngerjakannya, merasakan kesedihan ketika kehilangan kesempatan untuk melakukannya?

Bukankah merokok, meminum khamr, mendengarkan musik dan nyanyian, menonton TV yang sarat dengan penampakan aurat, ikhtilath, chatting berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada kepentingan syar'i, memotong jenggot dan mengenakan celana yang panjangnya melebihi mata kaki (bagi laki-laki), tidak mengenakan jilbab yang syar'i (bagi wanita), berdusta, mencuri, korupsi, menggunjing, mengolok-olok agama dan orang yang komitmen dengannya, menjadikan orang-orang fasik, munafik, kafir bahkan musyrik sebagai idola, dan banyak lagi perbuatan maksiat lainnya, merupakan perbuatan haram yang umum dilakukan oleh kebanyakan dari kita, padahal kita telah mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dapat mendatangkan kemurkaan Allah?

Kita membangkang kepada-Nya
Lalu mengaku bahwa kita mencinta-Nya
Inilah pengakuan yang nyata dustanya
Jika benar kita mencintai-Nya
Tentulah kita mentaati-Nya
Karena seseorang akan taat kepada kekasihnya.

Yassarallah lanal khaira haitsuma kunna...

~dari Abu muhammad Herman~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar