APAKAH SETIAP AMAL YANG TIDAK DILAKUKAN DI JAMAN NABI DISEBUT BID'AH ?
Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan bahasan ini.
Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di
jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini
tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknya (mereka anggap)
baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa
dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat
ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak
dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut
bid’ah secara mutlak.
Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah
seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.
Dua pendapat ini keliru.
Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون
موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن
فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal
faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor
penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah
bid’ah”.
Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين
وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها
تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه
منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang
tidak dilakukan oleh as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat,
tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak
meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau
tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka;
maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut
untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak
ada.
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
1. Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2. Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) :
Pengumpulan
Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa
disebut sebagai bid’ah ?
Jawabnya : TIDAK
Mengapa ?
Karena faktor atau sebab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu,
Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini
sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an.
Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak
dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun
setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu
’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu
Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur
(sebanyak 70 orang).
Dari sinilah kemudian muncul faktor
pendorong atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus
menggugurkan faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar
bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :
”Dalam
peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang
gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam
peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu
dikumpulkan”.
Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab
yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan
kaum muslimin.
Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan
titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[Huruf hijaiyyah di jaman Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan harakat]
Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya
perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan
tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad
Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin
’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin
Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu
dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.
Contoh (2) :
Maulid Nabi.
Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat)
?”.
Jawabannya : TIDAK DILAKUKAN.
Apakah ini disebut bid’ah ?
Jawabannya adalah : YA.
Mengapa ?
Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak
ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid
Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal.
Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor
pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa
syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang
itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong
yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk
melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu
merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam
syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإن هذا لم يفعله
السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو
راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول
الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص . وإنما
كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا
وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن
هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal
faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada.
Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan
hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan
mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari yang
kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan.
Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada
kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya,
menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta
berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan
yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan”.[Iqtidlaa’
Shirathil-Musthaqiim, 2/615.]
Atau jika kita ingin contoh yang
lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan
iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan
mengatakan bahwa itu bid’ah. Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan
bid’ah, katak orang2 Asy 'Ariyyah/NU.
Apa indikasinya ? Faktor
pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan
kaum muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di
lapangan (mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama
sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak
melakukannya.[Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah
shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan
hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no.
887].]
Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.
Contoh (3) :
Shalat
tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu
dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”.
Kita
jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan
kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar
bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai
sekarang bisa dikatakan bid’ah ?
Jawabannya : Tidak.
Mengapa ?
Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar
dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat
mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (=
yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa
khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak
sanggup melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam wafat dan syari’at telah mantap [Tidak ada kewajiban tambahan
yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena
Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3],
maka
hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya.
Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah)
sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah
mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan
pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin
Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja,
penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan
kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang
perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi
rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk
membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
dalil yang menyebutkan bahwa nabi shalat tarawih berjama'ah sebanyak 8 raka'at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar